Rabu, 21 Mei 2008

HMI Tolak Kenaikan BBM & Mahasiswa Cap DPRD Pendusta

Kamis, 22 Mei 2008

KEPUNG DEWAN : Ribuan elemen kepemudaan dan kemahasiswaan menggelar unjuk rasa di halaman gedung DPRD Sumbar, kemarin. Setidaknya tiga elemen menggelar unjuk rasa memperingati 10 tahun reformasi.

Padang, Padek -- Aksi ribuan mahasiswa dalam peringatan 10 tahun reformasi di gedung DPRD Sumbar berakhir dengan pembakaran keranda mayat yang dilakukan Lingkar Mahasiswa Minangkabau Raya (Lima Mira). Massa gerah dan emosi mendengar sikap DPRD Sumbar yang belum menindaklanjuti tuntutan mereka sebelumnya, menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). DPRD beralasan Lima Mira belum memasukkan aspirasi.

Teriakan, cemoohan dan hujatan pun terus mengalir dari mulut mahasiswa. Kemarahan mereka juga dipicu pernyataan Wakil Ketua DPRD Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, yang mengira Lima Mira baru sekali ini menggelar aksi. Massa menilai DPRD tidak tanggap terhadap aspirasi mahasiswa sehingga percuma menyampaikan aspirasi ke gedung dewan tersebut karena tidak jelas tindaklanjutnya.


”Pendusta, pendusta, pendusta” teriak mahasiswa sambil menuruni tangga gedung dewan dan membanting jaket serta tonggak bendera yang mereka bawa. Spanduk-spanduk pun mereka kumpulkan dan mereka taruh di atas keranda mayat yang sengaja dibawa sebagai ilustrasi matinya rakyat. Aksi bakar-bakaran pun dimulai dan dalam sekejap api membubung ke atas.
Selain itu, mereka juga membawa beberapa tuntutan di antaranya nasionalisasi aset-aset strategis, tolak intervensi asing, realisasikan 20 persen anggaran pendidikan, persiapan pangan nasional, kesehatan gratis dan mosi tidak percaya kepada pemerintah. Dalam beberapa spanduknya juga menilai SBY-JK sebagai boneka asing.


Selain Lima Mira, aksi ini juga diikuti Aliansi Mahasiswa Reformasi Tahap II (Amarah) yang terdiri dari lima organisasi, di antaranya Badko HMI Sumbar, PMII, IMM, KAMMI dan GMPI datang duluan. Sejak pagi mereka sudah konsolidasi di gerbang Universitas Negeri Padang (UNP). Sekitar pukul 10.00 WIB massa Amarah II mulai bergerak menuju gedung DPRD dan langsung menggelar orasi.


Massa Amarah II datang dengan slogan Lima Tuntutan Satu Solusi Rakyat (Lintas Rakyat) yang terpampang dalam sebuah spanduk besar, di antaranya optimalisasi penegakan hukum, kontrolisasi otonomi daerah, maksimalkan pemberantasan KKN, revisi sistem pendidikan nasional, nasionalisasi aset-aset negara dan reformasi tahap II. Mereka juga menawarkan solusi buang kapitalisme, tegakkan Islam secara kaffah.


Reformasi Telah Mati
Sekretaris GMPI Korda Sumbar, Hendri Gunawan, menilai reformasi telah mati. Menurutnya SDM bangsa harus diperkuat dengan melakukan revisi terhadap sistem pendidikan nasional dan tidak berkiblat ke luar. Ia juga menegaskan masyarakat miskin harus diberi akses pendidikan seluas-luasnya melalui pendidikan gratis.


”Kita juga menolak Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang sudah mengkomersialkan pendidikan. Biaya pendidikan jadi mahal. Wajahnya berubah menjadi industri. APBN/APBD yang terbatas tidak bisa jadi alasan. Kita bisa lihat anggaran studi banding tak ada batasnya,” tukasnya.


Belum selesai massa Amarah II menggelar orasi, massa dari BEM Sumbar juga sudah memadati gerbang DPRD. Massa yang didominasi almamater kuning dan hijau ini tidak langsung bergabung dengan massa Amarah II. Mereka terus mengkonsolidasikan massanya dengan membuat bentangan tali pemisah dengan massa dari gerakan lain.


Tak lama kemudian, massa Lima Mira dengan membawa sound system besar juga masuk dan merengsek ke depan gedung dewan. Orasi dengan suara membahana dari massa Lima Mira mengalahkan suara massa dari elemen gerakan lainnya. Massa Amarah II yang sudah menyelesaikan aksinya segera meninggalkan DPRD menuju ke gubernuran.


Lama berselang, baru massa BEM Sumbar maju ke depan setelah diberi ruang oleh massa Lima Mira. Namun setelah melalui komunikasi antara pimpinan aksi tampaknya tak tercapai kesepakatan. Akhirnya, mereka menggelar aksi dan orasi secara bersamaan. Sound System dan orasi yang menggelegar dari Lima Mira membuat suara BEM Sumbar seakan tak terdengar.
BEM Sumbar seakan tak peduli mereka terus melanjutkan aksinya dan segera menyampaikan pernyataan sikap dengan slogan Enam Tuntutan Rakyat Jelata (Natural), di antaranya tolak kapitalisme dan neo liberal, nasionalisasi aset-aset strategis negara, bersihkan bangsa dari KKN, hapuskan utang luar negeri, pendidikan dan kesehatan gratis, dan mosi tidak percaya kepada pemerintah.


Mereka juga meminta DPRD Sumbar ikut mendukung aspirasi tersebut. Namun Mahyeldi Ansharullah yang menerima massa, hanya menyetujui lima poin minus mosi tidak percaya kepada pemerintah. Ia beralasan lebih baik fokus pada substansi persoalan yakni menolak rencana kenaikan BBM. Ia juga berharap mahasiswa bisa memberikan solusi terhadap potensi pengbengkakan anggaran jika BBM tidak jadi dinaikkan. Kendati tidak setuju dengan poin terakhir DPRD tetap memfasilitasi tuntutan tersebut untuk disampaikan ke DPR RI.
Terhadap tuntutan mahasiswa untuk memotong tunjangan pejabat Mahyeldi mengaku, sangat setuju bahkan sudah disampaikannya ke gubernur Sumbar. ”Apalagi selama ini pejabat di pemerintahan kita masih banyak yang boros. Ini harus kita lakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap beban yang dialami masyarakat,” tukasnya. Dalam aksi ini, sebanyak 300 personil kepolisian diturunkan untuk mengamankan aksi.


Gamawan: Kedepankan Dialog


Dalam aksi di Kantor Gubernur Sumbar, Amarah II menyerukan agar reformasi tahap dua dilakukan. Mereka menilai reformasi yang dilakukan mahasiswa pada 1998 silam, gagal dan telah mati. Aksi yang dilakukan Amarah II sekitar pukul 11.30 WIB tersebut sempat diwarnai pembakaran keranda yang menandakan simbol telah matinya reformasi 1998.


Menyikapi aksi demo tersebut, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi usai upacara peringatan Harkitnas sekitar pukul 09.00 WIB, meminta seluruh elemen masyarakat untuk lebih mengedepankan dialog ketimbang aksi unjuk rasa menyikapi rencana kenaikan harga BBM. Menurutnya, demonstrasi dilakukan jika kran-kran dialog tidak memungkinkan lagi.
Menurutnya, sepanjang dialog masih bisa dilakukan, kenapa harus demontrasi. Karena pemerintah dan DPRD akan membuka bersedia untuk dialog. ”Kalau bisa demo itu menjadi jalan terakhir, kalau tidak ada jalan lainnya. Karena demo tersebut akan membuat suasana tidak nyaman. Coba kita ciptakan kondisi aman bagi Sumbar ini,” kata Gamawan kepada wartawan.


Aliansi Mahasiswa Tak Satu Visi
Soliditas dan kesatuan gerakan di tingkat elemen gerakan mahasiswa tampaknya masih sulit terealisir. Ribuan mahasiswa yang menggelar aksi di depan gedung DPRD Sumbar dalam peringatan 10 tahun reformasi datang dalam tiga aliansi yang berbeda, di antaranya Amarah II, BEM Sumbar dan Lima Mira.


Tuntutan mereka juga bebeda-beda. Amarah II datang dengan mengusung Lintas Rakyat atau Lima Tuntutan Satu Solusi Rakyat. Sedangkan BEM Sumbar mengemban misi Enam Tuntutan Rakyat Jelata (Natural). Namun dari segi substansi masih terdapat beberapa irisan di antaranya pendidikan dan kesehatan gratis. Dari awal fragmentasi gerakan sudah mulai tampak. Bahkan Amarah II dan BEM Sumbar yang konsolidasi di tempat yang sama, yakni Universitas Negeri Padang (UNP) bergerak sendiri-sendiri. Massa Amarah II yang sudah konsolidasi sejak pagi langsung mendahului pergerakan menuju DPRD Sumbar sekitar pukul 10.00 WIB.


Sekretaris GMPI Korda Sumbar, Hendri Gunawan, yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Reformasi Tahap II (Amarah II) mengatakan, gerakan mahasiswa memang tidak bergerak secara bersamaan. Namun ia menampik kalau ada perpecahakan karena komunikasi masih terus berjalan.
”Ini hanya perbedaan isu. Tidak ada perpecahan. Sebagian lebih fokus pada penolakan BBM. Lainnya, fokus pada refleksi 10 tahun reformasi. Karena isunya berbeda, akhirnya bergerak sendiri-sendiri. Tapi pada prinsipnya kan tujuannya sama,” tukasnya. Namun Aziz dari KAMMI Sumbar yang tergabung dalam Amarah II lebih tegas mengatakan, sudah mengajak BEM Sumbar tetapi mereka tidak mau bergabung.


“Mereka juga mengklaim dirinya sebagai BEM Sumbar. Padahal BEM yang lain masih banyak yang tidak bergabungm,” tandasnya. Perbedaan antar-elemen gerakan makin mencolok saat BEM Sumbar secara bersamaan bertemu dengan Lima Mira di halaman gedung DPRD Sumbar selepas Kelompok Amarah II meninggalkan lokasi dan menuju gubernuran. Komunikasi antara pimpinan aksi tampaknya tak menemui kata sepakat. Ujung-ujungnya dalam penyampaian orasi mereka saling mendahului.


Malahan, saat BEM Sumbar menyampaikan pernyataan sikap, massa Lima Mira terus membakar semangat massanya dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Praktis sound system Lima Mira yang besar dan menggelegar membuat suara BEM Sumbar terdengar sayup-sayup. Pernyataan Mahyeldi Ansharullah dan Djonimar Boer yang turun merespons aksi mahasiswa pun nyaris tak terdengar. Massa BEM yang menglaim dirinya BEM Sumbar juga hanya didominasi almamater hijau dan kuning yang menandakan mahasiswa Universitas Andalas (Unand), Universitas Negeri Padang (UNP) dan sejumlah kecil dari BEM Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol, Padang.


Presiden Mahasiswa IAIN Imam Bonjol Padang Ja’far yang tergabung dalam BEM Sumbar saat dikonfirmasi koran ini mengatakan, antara elemen gerakan mahasiswa masih tetap komunikasi. Namun lanjut Ja’far, perbedaan isu saja yang membuat elemen gerakan mahasiswa tidak begerak bersama.


Kontraproduktif
Mantan aktivis Sumbar, Alvon Kurnia mengatakan, aksi penolakan BBM berbagai tuntutan terkait 10 tahun reformasi oleh mahasiswa Sumbar kurang efektif dan malah cenderung kontraproduktif. Hal ini disebabkan gerakan mahasiswa berbagai aliansi tidak terkoordinasi dan tidak satu visi. Akibatnya, berakhir tanpa rekomendasi yang kuat.


Alvon menilai, aksi yang dilakukan berbagai aliansi mahasiswa itu sangat ganjil. Mestinya, sebelum turun ke jalan, mahasiswa melakukan konsolidasi terlebih dahulu. “Mereka sepertinya sama-sama ingin mengambil momen Harkitnas. Karena tidak didahului konsolidasi, terjadilah satu isu disuarakan tiga aliansi dalam satu lokasi di DPRD Sumbar. Ini tidak efektif,” tuturnya.
Jika satu isu disuarakan tiga aliansi berbeda pada tempat berbeda, maka kekuatan suara mahasiswa meluas. Bukan hanya lokasi yang menjadi sorotan Alvon, visi yang disampaikan juga berbeda. Masing-masing aliansi melihat persoalan dari sudut pandang berbeda, sehingga kekuatan isu yang diperjuangkan tidak kuat. Apa yang disampaikan BEM Sumbar, berbeda dengan Lima Mira. Demikian juga halnya dengan Amarah II dan aliansi lainnya.


“Mestinya apa yang disuarakan itu menghasilkan satu rekomendasi yang kuat dalam bentuk kesepakatan bersama. Hal ini akan bisa dicapai jika sebelumnya dicapai kesepakatan antara aliansi,” tuturnya. (geb/haj/afi)


Sumber: Harian Padang Ekpres online

HMI Cabang Bukittinggi Adakan Seminar dan Pelatihan Wirausaha

Oleh : Muhammad Subhan
21-Jan-2007, 23:08:31 WIB
Oleh: Muhammad Subhan

BUKITTINGGI: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bukittinggi bekerjasama dengan DPD Partai Golkar, Sabtu (20/1), menggelar Seminar dan Pelatihan Kewirausahaan. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari mulai Sabtu hingga Ahad (21/1) kemarin, mengangkat tema "Stategi Pengembangan Jejaring Usaha sebagai Modal Dasar Upaya Pembangunan Kewirausahaan". Ketua Umum HMI Cabang Bukittinggi Rizal Akbar didampingi Ketua Panitia Pendi S mengatakan, kegiatan itu dilatarbelakangi dengan melihat kondisi bangsa Indonesia yang selalu terpuruk soal ekonomi. "Kemiskinan dan pengagguran setiap saat terus meningkat. Pelatihan ini kami harapkan dapat memberikan input dengan terciptanya kader-kader HMI yang dapat terjun di bidang kewirausahaan," ujarnya.

Wakil Walikota Bukittinggi Drs. H. Ismet Amziz yang membuka kegiatan itu mengatakan, di Bukittinggi saat ini terdapat lebih 12 ribu unit usaha yang tersebar di empat bidang unggulan, yaitu pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata serta perdagangan dan jasa. "

Keempat sektor unggulan itu membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang memiliki SDM, menguasai teknologi, mampu menyikapi peluang pasar serta memiliki jejaring," ujarnya. Ketua DPD Partai Golkar Bukittinggi H. Trismon mengatakan, kerjasama yang dilakukan antara DPD Partai Golkar dengan HMI tidak terkait politik. Kapasitas Partai Golkar sebatas memberikan dukungan dan memfasilitasi kegiatan khsususnya nara sumber. "Dari kegiatan ini nantinya diharapkan akan memunculkan tokoh-tokoh pengusaha sukses yang akan membangun bangsa ke arah yang lebih baik," katanya.

Sementara itu, pengusaha sukses tingkat Nasional yang juga anggota DPR RI Dr. Azwir Dainy Tara tampil menjadi pembicara dengan makalah berjudul "Teknik Mengelola Bisnis Usaha". Narasumber lainnya Ketua Gapensi Sumbar H. Leonardi Harmaini (Menjadi Penguasa sebagai Jalan Hidup), Wakil Ketua Gapensi Sumbar (Dasar-dasar Kewirausahaan), Komisaris PT Semen Padang/Mantan Ketua Kadin Sumbar H. Basril Djabar (Teknik Membaca Peluang Usaha), Wakil Ketua Kadin Indonesia DR Pompida Hidayatullah (Manajemen Bisnis), Ketua Partai Golkar dan Ketua DPRD Bukittinggi H. Trismon, S.H., dan Ketua Kadin Sumbar (Teknik dan Praktek Pembuatan Proposal).Seminar dan Pelatihan Kewirausahaan itu diikuti 70 peserta yang terdiri dari utusan BEM se Kota Bukittinggi, OKP, Karang Taruna dan kader-kader HMI se Kota Bukittinggi. ***

Sumber: [www.kabarindonesia.com]

HMI Kutuk Film Fitna

Jumat, 11 April 2008

Padang, Padek-- Aksi penolakan terhadap pemutaran film Fitna terus bergulir, termasuk di Sumbar. Kemarin bertempat di halaman gedung DPRD Sumbar, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumbar menggelar aksi pengutukan terhadap film tersebut. Kehadiran film tersebut menurut mereka, tak lebih dari bentuk kekhawatiran Eropa dan Belanda melihat pertumbuhan umat Islam yang signifikan. Di Belanda tahun 2004, jumlah umat Islam telah mendekati satu juta orang. Padahal tahun 1909 hanya berjumlah 54 orang. Begitu juga halnya dengan Eropa, jumlah umat Islam tahun 2007 telah mencapai 54 juta jiwa.

“Pertumbuhan umat Islam begitu signifikan. Jadi membuat mereka khawatir atas bangkitnya kembali kejayaan Islam,” tegas Ketua Badan Koordinasi (Bako) HMI Sumbar Revi Marta Dasta. Dalam orasi damai yang berlangsung selama dua jam (dari pukul 11.00 WIB hingga 13.00 WIB, red), perwakilan anggota HMI secara bergantian mengutuk peredaran film Fitna yang menimbulkan fitnah di tengah umat manusia. Mereka menuding, anggota parlemen Belanda Geert Wilders yang memproduksi film Fitna tersebut harus diadili di Makhkamah Internasional.
”Selama ini Eropa, termasuk Belanda sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi HAM yang dijunjung tinggi itu hanya berlaku untuk kepentingannya saja. Sedangkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin sangat mencintai kedamaian. Belanda hanya melihat kekerasan Islam di daerah konflik yang dilakukan Eropa di Palestina,” terangnya. Setelah cukup beroperasi, Wakil Ketua DPRD Sumbar Mahyeldi Ansharullah menemui peserta unjuk rasa. Ia berjanji untuk menyampaikan aspirasi tersebut ke pemerintah pusat, termasuk DPR RI. Bagaimanapun, katanya, kebebesan berekspresi harus ada batasnya, bukan lepas begitu saja.

”Kita berharap umat Islam bersatu menghadapi aksi-aksi yang dilancarkan orang-orang yang berupaya memecah-belah umat. ”Film itu jelas berdampak pada pendeskreditan umat beragama, khususnya umat Islam. Penyebaran isu-isu yang tidak berpihak kepada umat Islam harus kita lawan. Sebab, itu jelas-jelas merusak eksistensi kalimat Allah di muka bumi ini,” tukasnya. Selain itu, HMI dalam aksinya juga meminta DPRD dan pemerintah Sumbar untuk melakukan upaya pembebasan terhadap 29 rekannya anggota HMI Sumatera Utara yang diamankan kepolisian Medan dalam aksi penolakan pemutaran film Fitna di depan Konjen Belanda beberapa waktu lalu.

Ke-29 anggota HMI yang ditahan kepolisian Sumut itu, kini telah dibebaskan 21 orang. Sedangkan sisanya masih mendekam di balik terali besi. “HMI seluruh Indonesia akan terus berupaya supaya rekan kami di Sumut dapat segera dibebaskan. Mereka memperjuangkan hak asasi agama. Di mana, saat ini nilai-nilai Islam telah terusik dengan film Fitna, namun kenapa perjuangan mulia itu dilakukan aparat hukum melakukan penahanan terhadap generasi muda bangsa ini,” sesal Revi.

Dalam kesempatan itu, Revi bersama rekannya yang lain meminta pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. ”Belanda baru saja hengkang dari Indonesia 60 tahun lalu, kini penjajahannya mulai dilakukan lagi dalam bentuk pemikiran tayangan film. Untuk itu penolakan ini harus dilakukan. Salah satunya dalam bentuk konkrit dengan cara memboikot produk-produk Belanda yang beredar di Indonesia, terutama Sumbar,” tuntut Revi yang diamini Ketua HMI Kota Padang Hendra Saputra. (mg7)

Harian Padang Ekspres; Jumat, 11 April 2008

HMI Demo Tolak Film Fitna

Jumat, 11 April 2008
PADANG, METRO-- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumbar berunjukrasa menentang kehadiran film Fitna di Sumbar. Unjukrasa yang melibatkan ratusan anggota dan simpatisan HMI dari gabungan kota dan kabupaten tersebut menuntut diadilinya anggota legislatif Kerajaan Belanda Greet Wilder sekaligus mengajak masyarakat untuk memboikot produk yang dihasilkan negeri kincir angin itu.

Peserta unjuk rasa sebelumnya melakukan aksi longmarc dari Jalan Veteran ke DPRD Sumbar, Kamis (10/4). Teriakan yel-yel yang berisi tuntutan wakil rakyat menyikapi peredaran Film Fitna.Sebelumnya peredaran flm yang digagas Greet Wilder itu juga mendapatan respon dari HMI di seluruh Indonesia. Bahkan, 29 orang anggota HMI yang juga melaksanakan aksi serupa baru - baru ini di Sumut. Dalam orasinya di halaman DPRD Sumbar itu HMI menyatakan mendukung kebijakan Pemprov Sumbar dan DPRD tentang penolakan penayangan film fitna.

Juga meminta untuk mengeluarkan pernyataan dukungan atas aksi yang dilakukan HMI di Sumut serta melakukan upaya agar anggota HMI tersebut bisa dibebaskan, karena aksi demonya.Ketua HMI Sumbar Revi Martha Desta menyebutkan keberadan film Fitna telah menginjak martabat bangsa Indonesia yang berdaulat. Selain itu juga disebutkan film Fitna telah melecehkan umat Islam dan merupakan bukti ketidaksukaan barat terhadap kemajuan umat Islam. Setelah melakukan orasi pengunjuk rasa berhasil menemui Wakil Ketua DPRD Sumbar Mahyeldi Ansyarullah yang menyambut baik aksi yang dilakukan massa HMI itu. Sebab, semua penayangan dalam film Fitna sangat sarat dengan fitnah. Sedangkan untuk pembebasan anggota HMI Medan yang diamankan beberapa hari lalu, diupayakan pembebasan bersama pemerintah Sumbar dan Sumut. (u)

Selasa, 15 Januari 2008

"Kebesaran" HMI yang Menggelisahkan

Selasa, 21 Februari 2006
Oleh: IGNATIUS KRISTANTO & SUWARDIMAN

Jika orang mendengar nama organisasi mahasiswa Islam besar di Indonesia, tak dapat dimungkiri nama Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI akan menjadi rujukan. Setelah mewarnai dunia gerakan mahasiswa selama hampir 59 tahun dan telah menghasilkan empat jutaan alumni, sekarang organisasi ini justru mendapat gugatan dari berbagai pihak.

Kisah perjalanan HMI memang lebih didominasi nuansa gerakan dan tarik-menarik politik elitenya daripada pengembangan intelektualitasnya, seperti embel-embel kata ”mahasiswa” yang melekat pada nama organisasi ini.

Pengembangan pemikiran yang menonjol hanya dilakukan saat Nurcholish Majid memimpin HMI periode 1966-1969. Pada tahun 1970, cendekiawan Muslim ini menelurkan gagasan pembaruan pemikiran Islam.
Kiprahnya yang lebih dekat dengan urusan politik inilah yang membuat HMI sering mendapat tekanan dari pihak luar. Bahkan, lebih sering rezim penguasa turut andil dalam memberikan tekanan itu. Tekanan pertama muncul dari Prof Ernest Utrecht, Sekretaris Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tahun 1964. Dengan surat keputusannya, Prof Utrecht telah melarang HMI di fakultasnya. Alasannya, HMI terlibat peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, DI/TII, percobaan pembunuhan presiden, dan lain-lain.

Isu ini kemudian dikembangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk turut serta mendorong pembubaran HMI. Pada awalnya, Presiden Soekarno akan membubarkannya, namun setelah mendengar saran dari Menteri Agama Saifuddin Zuhri akhirnya HMI tidak dibubarkan.

Tekanan politik kedua muncul di era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto saat itu sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak, dapat berakibat dibubarkan.

HMI pun terkena dampaknya. Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986 menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. HMI akhirnya pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI yang ”resmi” diakui negara hingga sekarang—meski sudah berubah kembali ke asas Islam pada tahun 1999—dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.

Sejak mengikuti ”intervensi” Orde Baru itulah, HMI kian dekat dengan kekuasaan. Lulusan HMI terakomodasi untuk masuk di lingkaran kekuasaan, menjabat di lembaga-lembaga negara.

Sebagai contoh dapat dilihat di lembaga legislatif. Ada kecenderungan jumlah alumni yang masuk di DPR meningkat. Jalur partai yang dipakai terutama adalah Golkar dan sedikit di Partai Persatuan Pembangunan (lihat grafik). Hal ini juga terjadi di lembaga-lembaga negara lainnya, seperti di kementerian.

Akhirnya, jalur-jalur posisi kekuasaan ini dapat dicapai alumninya meski mereka tidak langsung meraihnya. Ada berbagai proses atau jalur sehingga membentuk pola yang ”khas”.

Dari hasil pengamatan Kompas terhadap biodata 19 menteri, ada lima jalur yang dipakai oleh para alumni sebelum mereka meraih kekuasaan di kementerian. Jalur-jalur itu adalah akademisi, aktivis partai, pengusaha, birokrat, dan organisasi keagamaan. Jalur akademisi adalah yang paling banyak terjadi. Ini wajar terjadi karena Presiden Soeharto waktu itu lebih mengakomodasi kalangan teknokrat dalam membentuk kabinetnya.

Dari sisi pengaderan pun meningkat pesat. Ketika didirikan pada 5 Februari 1947, jumlah anggotanya hanya 18 orang. Cabangnya pun belum ada. Baru pada kongres pertama di Yogyakarta beberapa bulan kemudian, muncul empat cabang.

Menurut data Pengurus Besar HMI, kini jumlah cabang telah mencapai 165 yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Anggotanya pun meningkat menjadi sekitar 450.000 mahasiswa.

Potensi secara kuantitas yang besar, baik dari alumni maupun anggota aktifnya inilah yang menjadi sumber magnet bagi kelompok politik eksternal sangat berkepentingan dengan HMI. Jaringan yang besar ini membuat sebagian pengurusnya lalu lebih dekat ke elite kekuasaan.

Akibatnya, aktivitas dan gerakan organisasi ini seolah-olah ”mati suri”. Setelah kontroversi pembaruan Islam ala Cak Nur dan perbedaan asas Pancasila versus Islam, tidak ada lagi gerakan yang menarik yang muncul dari HMI. Bahkan, ketika dalam era reformasi tahun 1998, gaung HMI tenggelam oleh gerakan mahasiswa waktu itu.

Kelesuan inilah yang membuat Nurcholish Madjid turun gunung. Pada pertengahan tahun 2002, cendekiawan Muslim ini mengusulkan agar HMI sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat.

Inilah kritik pertama dari ”orang dalam” sendiri untuk membubarkan HMI. Padahal, sebelumnya gerakan pembubaran hanya terjadi dari pihak eksternal.

Kritik yang sama datang dari tiga alumninya. Rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengkritik bahwa saat ini orientasi politik anggota dan pengurus HMI menguat. ”Banyak anggota dan pengurusnya yang melihat HMI semata-mata sebagai proses atau jenjang untuk meniti karier politik,” ujar alumnus yang pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat periode 1981-1982 itu.

Nada kegelisahan juga dilontarkan Yasin Kara, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, dan Laode M Kamaluddin, Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Keduanya berpendapat HMI sekarang menjadi terlalu pragmatis, sistem kaderisasi yang dikembangkan tidak berprospek jauh ke depan.

Di era keterbukaan seperti sekarang, di mana pola berpolitik berubah, sistem kaderisasi HMI juga harus berubah. Hal yang mungkin kurang disadari oleh pengurus HMI.

Lontaran kritik, kegelisahan, dan sekaligus kekhawatiran dari para alumninya ini memang diakui oleh Marbawi, salah satu Ketua Pengurus Besar HMI periode 2003-2005. Orientasi elite ini memang terjadi pada sebagian pengurusnya. Sebagian besar anggota HMI justru tidak berorientasi politik praktis.

Kini penyebaran alumni HMI tidak lagi terkelompok di satu partai, yaitu Golkar, melainkan tersebar di berbagai partai politik. Pengaruh alumni terhadap HMI pun telah berubah dari satu kekuatan menjadi banyak kekuatan politik. Tantangan inilah yang kini menghadang HMI yang sedang menyelenggarakan Kongres XXV di Kota Makassar. (Litbang Kompas)

Sumber: Harian Kompas

Kalla: Saya Masih Dikira Bendahara HMI

Padang, 19 Oktober 2007
(Majalah Gatra)


Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla meresmikan gedung Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Padang, Jum`at (19/10), dalam suasana santai dan penuh canda.

"Saya sudah keluar HMI lebih 40 tahun lalu yakni 1967, tapi sampai sekarang adik-adik HMI masih saja kira saya Bendahara HMI," kata Jusuf Kalla yang disambut tawa ratusan undangan.

Kalla menjelaskan, hampir setiap ada kegiatan HMI baik di pusat maupun cabang, jika menyangkut soal dana maka ia akan dihubungi.

Kendati demikian, Kalla mengaku hal itu menunjukkan bahwa hingga saat ini masih ada hubungan yang erat antara dirinya dengan HMI. Kalla sendiri adalah adalah mantan Ketua Pengurus Cabang HMI Makassar dan saat ini bergabung di KAHMI.

Kalla mengungkapkan, saat kunjungannya ke Manado, Sulawesi Utara, masuk SMS (layanan pesan singkat) ke telepon seluernya, yang ternyata dari Ketua HMI Cabang Manado yang mengatakan akan melakukan training intermedia.

Kalla menceritakan pula saat ada aksi demonstrasi di depan kantor Istana Wapres, Jakarta. Saat itu, Kalla melihat yang melakukan aksi demo anggota HMI.

"Tapi anak-anak HMI ini kadang agak kurang ajar juga. Masa` demo HMI di depan Kantor Wapres. Ada SMS, `bang kita demo di depan (Kantor Wapres --Red)`. Nah Kenapa? Kami barusan bikin training, ada hutang belum dibayar ... ha??" ungkap Kalla terheran-heran.

Namun buru-buru Kalla menambahinya dengan kalimat, "Mungkin itu balas dendam karena dulu kita juga kasih orang seperti itu.".

Sebelumnya, dalam laporan Presidium KAHMI Asri Harahap mengaku, Gedung HMI Cabang Padang ini telah empat kali dilakukan peletakan batu pertama. Namun, baru pada peletakan batu pertama yang ke empat gedung benar-benar jadi. "Tadi katanya empat kali peletakan batu. Jangan-jangan nanti peresmiannya juga empat kali. Peresmian lantai satu, peresmian lantai dua dan seterusnya. Supaya lancar (dananya)," kata Kalla yang disambut tawa lepas para undangan.

Sambil tertawa, Kalla juga menunjuk beberapa alumni HMI yang hadir antara lain Bachtiar Chamsyah, Fahmi Idris, Anas Urbaningrum, Syahrul Ujud, atau Gamawan Fauzi.

Guyonan pun terus berlanjut, bahkan pecahnya HMI menjadi dua organisasi juga menjadi obyek guyonan Kalla."Nggak apa-apa ada dua HMI. Satu HMI saja sudah hebat apalagi kalau dua HMI. Yang penting jangan berperang lah. Mau tiga HMI juga nggak apa-apa bagus malah saling bersaing," kata Kalla sambil terpingkal-pingkal.

Namun Kalla mengingatkan agar HMI tetap konsisten menjadi insan akademis. "Adik-adik HMI harus tetap ciptakan insan akademis, jangan insan demonstran, jangan asal apa saja tak boleh, apa saja salah," katanya.

Peletakan batu pertama Gedung HMI Cabang Padang tersebut dilakukan oleh Kalla pada tahun 2004 saat ia masih menjabat sebagai calon wakil presiden (cawapres). Sedangkan peresmian kali ini dilakukannya saat telah menjabat sebagai wakil presiden. "Soal sumbangan nanti adalah. Dulu cawapres sekarang sudah wapres, jadi naik 50 persen lah. Kan sudah jadi wapres, pangkatnya sudah naik. Penghasilan tak naik, tapi pangkat sudah naik," demikian Kalla. [EL, Ant]

Senin, 07 Januari 2008

Pidato Jusuf Kala Saat Peresmian Wisma HMI Cabang Padang - Sumbar

Padang, 19/10 (ANTARA)

Rasa-rasanya, di mana ada Jusuf Kalla di situ ada canda tawa. Semua hal tampaknya bisa menjadi bahan guyonan Wakil Presiden.

Acara seremonial peresmian gedung Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sumbar Padang, Jumat, juga menjadi bahan guyonan segar penuh gelak tawa.

"Saya ini sudah keluar HMI 40 tahun lalu. Tetapi sampai sekarang adik-adik HMI masih saja dikira saya ini bendahara HMI," kata Wapres M Jusuf Kalla ketika memulai pidatonya.

Ratusan udangan yang hadir di situ menyambut ucapannya itu dengan gelak tawa.
Hampir setiap ada kegiatan HMI baik di pusat maupun di cabang mana pun, jika menyangkut soal dana maka wapres akan dihubungi, katanya.

Tetapi, Wapres menganggap hal itu merupakan tanda bahwa hingga saat ini masih ada hubungan yang erat antara dirinya dengan teman-teman di HMI.

Wapres sendiri merupakan mantan Ketua Pengurus Cabang HMI Makasar dan saat ini bergabung di KAHMI.

Ketika berkunjung ke Manado, Sulut ada SMS (layanan pesan singkat) dari Ketua HMI Cabang Manado yang mengatakan akan melakukan intermediate training. Jadi perlu dana, kata Wapres.

Pernah, kata Wapres Jusuf Kalla, ada aksi demonstrasi dan kebetulan dilakukan oleh anggota HMI di depan kantor Istana Wapres Jakarta.

"Anak-anak HMI ini kadang-kdang agak kurang ajar juga. Masak demo HMI di depan kantor Wapres. Lalu ada sms juga dikirim. Isinya, Bang kami demo di depan Kantor Wapres. Kenapa? Kami barusan bikin training, ada utang belum dibayar ...haaa," kata Wapres sambil tertawa lebar.

Lekas-lekas Wapres menambahinya dengan kalimat, "Mungkin itu balas dendam karena dulu kita juga kasih orang seperti itu," sambil menunjuk para anggota Kesatuan Alumni HMI.

Sebelumnya, Presidium KAHMI Asri Harahap melaporkan bahwa gedung HMI Cabang Padang ini telah empat kali peletakan batu pertama. Namun, baru pada peletakan batu pertama yang keempat gedung benar-benar jadi.

"Nah, tadi katanya empat kali peletakan batu. Jangan-jangan nanti peresmiannya juga empat kali. Peresmian lantai satu, peresmian lantai dua dan seterusnya. Supaya lancar dananya," kata Wapres yang disambut tawa lepas para undangan.

Sambil tertawa Wapres juga menunjuk beberapa alumi HMI yang hadir antara lain Bahtiar Chamsyah, Fahmi Idris, Anas Urbaningrum, Syahrul Ujud, Gamawan Fauzi dan sebagainya.
Guyonan pun terus berlanjut. Bahkan HMI pecah menjadi dua organisasi juga menjadi objek guyonan Wapres.

"Ngak apa-apa ada dua HMI. Satu HMI saja sudah hebat apalagi kalau dua HMI. Yang penting jangan berperanglah. Mau tiga HMI juga ngak apa-apa. Bagus, malah saling bersaing," kata Wapres terpingkal-pingkal.

Wapres pun lalu menjelaskan, menjadi anggota HMI hukumnya menggunakan stelsell aktif sehingga mahasiswa harus aktif mendaftar. Sementara menjadi anggota KAHMI merupakan keterpaksaan, karena menggunakan stelsell pasif.

"Kami ini jadi anggota KAHMI itu keterpaksaan karena stelsell pasif tak usah daftar. Jadi, ya tak apalah," katanya.

Menurut Wapres, jika organisasi KAHMI mau berjalan dengan baik maka harus setingkat di atas arisan. Kalau tidak, KAHMI mungkin akan bubar karena anggota KAHMI sangat beragam kepentingan dan warna politiknya.

Wapres menyebut Bathiar Chamsyah yang berada di PPP, Anas Urbaningrum di Partai Demokrat atau dia sendiri di Partai Golkar. Karena itu, untuk kepengurussan KAHMI tidak bisa dipilih satu orangtetapi merupakan Ketua Presidium bersama-sama.

"Nanti kalau KAHMI masuk PPP, susah ya Pak Bathiar. Kalau masuk Golkar yaa agak lumayan," kata Wapres lagi-lagi membuat tawa.

Yang jelas, kata Wapres, hampir semua pemimpin bangsa ini merupakan anggota KAHMI. Wapres menyebutkan Ketua MKRI Jimly Ashidiqie, Ketua MA Bagir Manan, Ketua BPK Anwar Nasution dan lainnya.

Wapres juga mengatakan para mantan Ketua Pengurus Besar (PB HMI) juga telah menjadi anggota DPR RI atau DPRD. Mantan Ketua Pengurus Cabang justru menjadi menteri seperti Fahmi Idris, atau Wapres seperti dirinya.

"Saya ini Ketua KAHMI Komisariat Kabinet Indonesia Bersatu. Karena di situ ada 14 anggota menteri dari KAHMI," kata Wapres berkelakar.

Namun di balik semua keberhasilan para alumni HMI, Wapres juga menungkapkan banyak alumni HMI yang masuk penjara.

"Jadi ada yang hebat-hebat tetapi ada juga yang masuk penjara. Jaksanya KAHMI, tetapi yang dipenjara juga KAHMI," ujarnya.

Semboyan HMI "Yakin Usaha Sampai" juga jadi bahan banyolan. Menurut Wapres, saat ini "Usaha Sudah Sampai". Hanya kriteria usaha sudah sampai itu yang berbeda-beda antaranggota KAHMI.

"Sampai ada terminal-terminalny a. Kalau saya sudah sampai terminal akhir. Pak Bathiar atau Fahmi masih di terminal tiga," katanya sambiltertawa lebar.

Ada satu terminal lagi. Presiden RI.