Selasa, 15 Januari 2008

"Kebesaran" HMI yang Menggelisahkan

Selasa, 21 Februari 2006
Oleh: IGNATIUS KRISTANTO & SUWARDIMAN

Jika orang mendengar nama organisasi mahasiswa Islam besar di Indonesia, tak dapat dimungkiri nama Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI akan menjadi rujukan. Setelah mewarnai dunia gerakan mahasiswa selama hampir 59 tahun dan telah menghasilkan empat jutaan alumni, sekarang organisasi ini justru mendapat gugatan dari berbagai pihak.

Kisah perjalanan HMI memang lebih didominasi nuansa gerakan dan tarik-menarik politik elitenya daripada pengembangan intelektualitasnya, seperti embel-embel kata ”mahasiswa” yang melekat pada nama organisasi ini.

Pengembangan pemikiran yang menonjol hanya dilakukan saat Nurcholish Majid memimpin HMI periode 1966-1969. Pada tahun 1970, cendekiawan Muslim ini menelurkan gagasan pembaruan pemikiran Islam.
Kiprahnya yang lebih dekat dengan urusan politik inilah yang membuat HMI sering mendapat tekanan dari pihak luar. Bahkan, lebih sering rezim penguasa turut andil dalam memberikan tekanan itu. Tekanan pertama muncul dari Prof Ernest Utrecht, Sekretaris Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember pada tahun 1964. Dengan surat keputusannya, Prof Utrecht telah melarang HMI di fakultasnya. Alasannya, HMI terlibat peristiwa Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Permesta, DI/TII, percobaan pembunuhan presiden, dan lain-lain.

Isu ini kemudian dikembangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk turut serta mendorong pembubaran HMI. Pada awalnya, Presiden Soekarno akan membubarkannya, namun setelah mendengar saran dari Menteri Agama Saifuddin Zuhri akhirnya HMI tidak dibubarkan.

Tekanan politik kedua muncul di era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto saat itu sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak, dapat berakibat dibubarkan.

HMI pun terkena dampaknya. Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986 menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. HMI akhirnya pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI yang ”resmi” diakui negara hingga sekarang—meski sudah berubah kembali ke asas Islam pada tahun 1999—dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.

Sejak mengikuti ”intervensi” Orde Baru itulah, HMI kian dekat dengan kekuasaan. Lulusan HMI terakomodasi untuk masuk di lingkaran kekuasaan, menjabat di lembaga-lembaga negara.

Sebagai contoh dapat dilihat di lembaga legislatif. Ada kecenderungan jumlah alumni yang masuk di DPR meningkat. Jalur partai yang dipakai terutama adalah Golkar dan sedikit di Partai Persatuan Pembangunan (lihat grafik). Hal ini juga terjadi di lembaga-lembaga negara lainnya, seperti di kementerian.

Akhirnya, jalur-jalur posisi kekuasaan ini dapat dicapai alumninya meski mereka tidak langsung meraihnya. Ada berbagai proses atau jalur sehingga membentuk pola yang ”khas”.

Dari hasil pengamatan Kompas terhadap biodata 19 menteri, ada lima jalur yang dipakai oleh para alumni sebelum mereka meraih kekuasaan di kementerian. Jalur-jalur itu adalah akademisi, aktivis partai, pengusaha, birokrat, dan organisasi keagamaan. Jalur akademisi adalah yang paling banyak terjadi. Ini wajar terjadi karena Presiden Soeharto waktu itu lebih mengakomodasi kalangan teknokrat dalam membentuk kabinetnya.

Dari sisi pengaderan pun meningkat pesat. Ketika didirikan pada 5 Februari 1947, jumlah anggotanya hanya 18 orang. Cabangnya pun belum ada. Baru pada kongres pertama di Yogyakarta beberapa bulan kemudian, muncul empat cabang.

Menurut data Pengurus Besar HMI, kini jumlah cabang telah mencapai 165 yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Anggotanya pun meningkat menjadi sekitar 450.000 mahasiswa.

Potensi secara kuantitas yang besar, baik dari alumni maupun anggota aktifnya inilah yang menjadi sumber magnet bagi kelompok politik eksternal sangat berkepentingan dengan HMI. Jaringan yang besar ini membuat sebagian pengurusnya lalu lebih dekat ke elite kekuasaan.

Akibatnya, aktivitas dan gerakan organisasi ini seolah-olah ”mati suri”. Setelah kontroversi pembaruan Islam ala Cak Nur dan perbedaan asas Pancasila versus Islam, tidak ada lagi gerakan yang menarik yang muncul dari HMI. Bahkan, ketika dalam era reformasi tahun 1998, gaung HMI tenggelam oleh gerakan mahasiswa waktu itu.

Kelesuan inilah yang membuat Nurcholish Madjid turun gunung. Pada pertengahan tahun 2002, cendekiawan Muslim ini mengusulkan agar HMI sebaiknya dibubarkan saja. Alasannya, orientasi para kader HMI condong menjadi pejabat.

Inilah kritik pertama dari ”orang dalam” sendiri untuk membubarkan HMI. Padahal, sebelumnya gerakan pembubaran hanya terjadi dari pihak eksternal.

Kritik yang sama datang dari tiga alumninya. Rektor Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengkritik bahwa saat ini orientasi politik anggota dan pengurus HMI menguat. ”Banyak anggota dan pengurusnya yang melihat HMI semata-mata sebagai proses atau jenjang untuk meniti karier politik,” ujar alumnus yang pernah menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat periode 1981-1982 itu.

Nada kegelisahan juga dilontarkan Yasin Kara, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, dan Laode M Kamaluddin, Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam. Keduanya berpendapat HMI sekarang menjadi terlalu pragmatis, sistem kaderisasi yang dikembangkan tidak berprospek jauh ke depan.

Di era keterbukaan seperti sekarang, di mana pola berpolitik berubah, sistem kaderisasi HMI juga harus berubah. Hal yang mungkin kurang disadari oleh pengurus HMI.

Lontaran kritik, kegelisahan, dan sekaligus kekhawatiran dari para alumninya ini memang diakui oleh Marbawi, salah satu Ketua Pengurus Besar HMI periode 2003-2005. Orientasi elite ini memang terjadi pada sebagian pengurusnya. Sebagian besar anggota HMI justru tidak berorientasi politik praktis.

Kini penyebaran alumni HMI tidak lagi terkelompok di satu partai, yaitu Golkar, melainkan tersebar di berbagai partai politik. Pengaruh alumni terhadap HMI pun telah berubah dari satu kekuatan menjadi banyak kekuatan politik. Tantangan inilah yang kini menghadang HMI yang sedang menyelenggarakan Kongres XXV di Kota Makassar. (Litbang Kompas)

Sumber: Harian Kompas

1 komentar:

megaswara mengatakan...

DEAR
Sahabatku
Seluruh Kader HMI se-Indonesia


Banyak dari berbagai alas an tentang berdirinya suatu cabang diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari alas an tersebut adalah pengkaderan yang kembali ke Khittah Nilai Dasar Perjuangan dan Visi HMI.

Kami telah memperjuangankan HMI Cabang Kota Bogor selama 7 tahun, belum ada hasil yang maksimal dan bahkan ada upaya – upaya penenggelaman usaha kami dari sisi politik “Childness” yang mengedepankan kepentingan pragmatis dan sesaat.

Upaya dari sisi hokum sudah diperjuangkan, namun kami selalu terganjal dengan masalah legalitas AD ART HMI yang belum jelas penerjemahannya.

Tentunya teman – teman tahu perihal kami, HMI Cabang Kota Bogor yang terkatung katung. Kami merasa bahwa kami sendirian berjuang dan tidak ada sahabat – sahabat kami yang membantu memperjuangkannya. Pertanyaan kami sederhana :
1. apakah kami, HMI cabang Kota Bogor perlu ada ?
2. dan apakah saat ini HMI sudah penuh dengan kader dan tidak perlu lagi membuka kesempatan pengkaderan.

Dirasa perlu jika kami memohon dukungan seluruh teman – teman HMI se- Indonesia sambil bersembah sujud, maka kami akan membawa seluruh Kader Kami—sebanyak 450 kader—untuk bersembah sujud di kongres palembang nanti.

Sugeng Wiyono
08889067694

Mohon diteruskan ke seluruh kader HMI se- Indonesia
Selamat berjuang di Kongres Palemban